Setiap
hari di sekolah membawa cerita baru, dan di balik dinding kelas sederhana, nama
Risky sudah menjadi simbol kecemerlangan. Di ruang kelas yang hangat dengan
aroma kapur dan debu buku, pagi itu dimulai dengan semangat belajar yang
membara.
Di
depan papan tulis yang memudar warnanya, Bu Katya, guru matematika yang lembut
dan cermat, mengumumkan sebuah soal menantang.
Bu Katya: "Anak-anak, mari kita coba soal ini:
Bagaimana cara kita menyelesaikan persamaan kuadrat dengan cara faktorisasi?
Siapa yang ingin memulai?"
Risky
dengan segera mengangkat tangan, wajahnya terlukis keyakinan.
Risky: "Bu, jika kita faktorkan terlebih
dahulu, kita bisa mendapatkan dua bilangan yang jumlahnya sama dengan koefisien
dari x dan hasil perkaliannya sama dengan konstanta. Misalnya, jika itu x² + 5x
+ 6, maka faktornya adalah (x + 2) dan (x + 3)."
Bu
Katya tersenyum bangga sambil mengangguk.
Bu Katya: "Tepat sekali, Risky! Penjelasanmu
sangat sistematis sehingga teman-teman pun bisa memahami
langkah-langkahnya."
Suasana
kelas seketika dipenuhi pujian dan tatapan takjub dari teman-temannya. Di
antara mereka, Jaka, sahabat sekaligus teman sekelasnya, mendekat dengan
ketulusan rasa ingin tahu.
Jaka: "Risky, bagaimana caramu cepat
memahami setiap rumus yang diajarkan? Aku sering merasa kewalahan."
Risky
menoleh dengan senyum yang ramah.
Risky: "Jaka, aku memang suka membaca soal
lebih awal dan kalau ada yang sulit, aku coba pecahkan berulang-ulang. Kadang,
aku juga bertanya kepada Bu Katya supaya penjelasannya lebih mendalam."
Pembicaraan
itu menumbuhkan semangat di antara teman-teman sekelas, yang kini merasa
termotivasi untuk belajar lebih giat lagi. Namun, di balik sorotan keberhasilan
di dalam kelas, tersimpan beban yang mengancam impian besar Risky.
Sore
harinya, di rumah sederhana yang dipenuhi kehangatan namun juga keterbatasan,
terdengar percakapan serius antara Risky dan ibunya di dapur. Di tengah aroma
masakan yang hangat, Ibunya menyuarakan kekhawatiran yang selalu menghantui.
Ibu: "Risky, Ibu bangga padamu. Tapi
engkau tahu, biaya sekolah semakin tinggi. Bagaimana kita bisa memenuhi
kebutuhan SMA jika keadaan seperti sekarang terus berlangsung?"
Risky
menatap ibunya dengan tatapan penuh keyakinan, meski juga menyimpan
kekhawatiran tentang masa depan.
Risky: "Bu, aku akan mencari cara. Aku tak
mau menyerah hanya karena keadaan. Aku ingin melanjutkan pendidikan supaya bisa
meraih mimpi menjadi perancang mobil listrik dan membantu keluarga kita serta
banyak orang."
Ibunya
terdiam sejenak, menyerap setiap kata yang terucap dengan hati yang berat.
Ibu: "Ibu tahu engkau pintar dan gigih,
Nak. Kami hanya berharap jalannya nanti tidak terlalu berat. Ingatlah, di balik
setiap perjuangan ada harapan."
Kata-kata
itu menggema dalam hati Risky, memancarkan tekad yang semakin menguatkan
dirinya untuk mengatasi segala rintangan. Di balik papan tulis, buku-buku
usang, dan keterbatasan uang, prestasinya di sekolah bukan saja bukti
kecemerlangan, tetapi juga cermin keberanian seorang anak yang berani bermimpi
besar.
Di
hari-hari berikutnya, di antara tawa teman-temannya dan tantangan soal
matematika, Risky terus menunjukkan bahwa kecerdasan bukanlah hadiah semata
dari nasib, melainkan hasil dari kerja keras, kegigihan, dan keyakinan untuk
merubah keadaan. Setiap dialog di dalam kelas dan setiap bisikan harapan di
ruang dapur menyatukan narasi hidupnya, menyongsong hari depan dengan semangat
yang tak tergoyahkan.
Salam Literasi......