Senin, 23 Juni 2025

BAB 4: SKETSA HARAPAN

 

Pagi tiba dengan langkah pelan, merayap di antara lorong-lorong sempit yang selama ini terbiasa dengan kegelapan. Sinar matahari menelusup malu-malu melalui celah bangunan tua, menyentuh dinding-dinding yang mengelupas, seperti tangan yang mencoba menyembuhkan luka.

Jaka berdiri di depan salah satu dinding paling kusam di gang itu. Ia merasakan permukaannya dengan jemarinya—kasar, dingin, penuh bekas luka dari waktu yang tak pernah memberi ampun.

Di matanya, dinding ini bukan sekadar tembok. Ia adalah saksi bisu penderitaan, tempat di mana harapan sering kali terhenti di tengah perjalanan. Tapi hari ini, ia akan mengubahnya. Ia mengambil kaleng cat, menggenggamnya dengan erat seakan di dalamnya terdapat seluruh kepercayaan diri yang ia butuhkan. Udara pagi terasa lebih berat, seolah menahan napas untuk menyaksikan sejarah yang akan tercipta.

Jaka menyemprotkan warna pertama—semburan biru yang melebur ke permukaan beton, seperti gelombang laut yang mencapai pantai setelah perjalanan panjang. Dengan setiap gerakan tangannya, garis demi garis terbentuk. Tidak ada kemarahan dalam lukisan ini, tidak ada pemberontakan yang meledak-ledak seperti dulu. Yang ada hanyalah cerita baru, kisah tentang mereka yang masih bertahan, mereka yang menolak menyerah pada dunia yang kerap melupakan mereka.

Tembok itu mulai bernapas.

Saat mural perlahan terbentuk, warga mulai berdatangan. Anak-anak melongok dengan rasa ingin tahu, sementara orang dewasa menatap dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Beberapa dari mereka tersenyum, mengangguk pelan, seolah menemukan sesuatu yang lama mereka cari dalam warna-warna itu. Tapi tidak semua orang berpikir demikian.

Seorang pria tua berdiri di sudut, matanya tajam mengamati setiap goresan yang dibuat Jaka. Ia menyilangkan tangan, raut wajahnya penuh skeptisisme.

"Untuk apa semua ini?" tanyanya akhirnya, suaranya berat seperti tahun-tahun yang telah berlalu tanpa perubahan.

Jaka berhenti sejenak, memandang mural yang baru terbentuk sebagian. Ia bisa merasakan keraguan pria itu, bisa mendengar gemuruh ketidakpercayaan yang memenuhi udara.

"Agar tempat ini punya cerita yang berbeda," jawabnya pelan.

Pria itu mendengus, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.

Jaka tahu, kepercayaan tidak bisa dibangun dalam sehari. Tetapi ia juga tahu, setiap warna yang ia goreskan adalah langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar.

Malam datang, tapi kali ini terasa berbeda. Bukan kegelapan yang menyelimuti tempat itu, melainkan warna-warna yang mulai berbicara. Mural yang dibuat Jaka kini telah hampir selesai. Wajah seorang wanita tua tergambar di tengahnya, kerutan di wajahnya bercerita tentang perjuangan yang tak pernah berhenti. Di sebelahnya, seorang pria dengan tangan yang kasar karena bertahun-tahun bekerja tanpa istirahat, matanya penuh kebijaksanaan. Mereka bukan sembarang gambar. Mereka adalah pahlawan komunitas, orang-orang yang mengorbankan hidupnya agar lingkungan ini tetap bertahan. Saat Jaka menyelesaikan sentuhan terakhir, seseorang mendekatinya—seorang ibu yang mengenakan kain lusuh, rambutnya tersisir seadanya, tapi matanya penuh cahaya.

"Itu ibuku," katanya dengan suara bergetar. "Terima kasih."

Jaka tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir di dadanya.

Malam itu, muralnya tak lagi sekadar lukisan. Ia menjadi bagian dari cerita orang-orang yang selama ini terabaikan.

Beberapa hari berlalu, dan mural itu mulai menarik lebih banyak perhatian. Anak-anak mengelilinginya setiap sore, tertawa sambil menunjuk ke berbagai detail yang Jaka buat dengan penuh hati. Para pedagang yang biasanya hanya sibuk dengan dagangannya kini sesekali berhenti untuk melihat. Bahkan pria tua yang dulu meragukannya kini sering duduk di dekat mural, diam, tetapi tidak lagi dengan ekspresi skeptis.

Jaka merasa sesuatu telah berubah, bukan hanya di tembok itu, tetapi di hati orang-orang. Dulu, tempat ini adalah sudut kota yang dilupakan. Kini, ia menjadi titik di mana cerita-cerita baru mulai tumbuh, di mana harapan yang lama terkubur mulai muncul ke permukaan. Jaka menatap muralnya dengan senyum kecil. Ini hanyalah awal dari perjalanan panjang, tetapi ia tahu satu hal: warna-warna itu bukan hanya miliknya. Mereka milik semua orang yang masih percaya bahwa sesuatu yang indah masih bisa lahir.

Bersambung ........


Harga Ebook Mendidik Anak Sesuai Zamannya: Rp. 40.000,-

WA : 0822 4499 2692 (Mas Zay)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar