Malam melingkupi kota
dalam pelukannya yang dingin, seolah mengintai langkah-langkah mereka yang
berani menantang batas. Di sebuah gedung tua yang menjulang tinggi, Jaka
berdiri di tepian, memandang tembok luas yang akan menjadi kanvas bagi
ambisinya. Matanya berkilat seperti bara api yang tak akan padam—malam ini, ia
akan menciptakan sesuatu yang tak akan terlupakan.
Angin berbisik,
membawa suara masa lalu yang pernah mencemoohnya, seakan mencoba menghalangi
niatnya. Namun, Jaka tak gentar. Ia meraih kaleng cat semprot, merasakan
dinginnya logam di tangannya—senjatanya, alat yang akan memberinya kebebasan. Ia
tahu tempat ini sulit diakses. Di ketinggian ini, satu langkah salah bisa
berarti akhir segalanya. Tetapi itulah yang ia cari—tantangan yang membuktikan
bahwa ia bukan sekadar seniman jalanan, tetapi seorang pencipta yang berani
menggoreskan visinya di tempat yang tak pernah terpikirkan.
Tangannya bergerak
dengan percaya diri, warna pertama meluncur ke tembok, menjelma menjadi bentuk
abstrak yang perlahan mulai mengambil makna. Ia seperti sedang berbicara dengan
kota, memberi pesan yang selama ini tersembunyi di balik kehidupan yang tak
peduli pada mereka yang berada di bawah. Namun, malam memiliki cara sendiri untuk
menguji kesombongan. Saat ia melangkah lebih jauh, sesuatu yang tak terduga
terjadi.
Angin tiba-tiba
bertiup lebih kencang, membawa ketegangan yang menggigit kulit. Jaka
mengabaikannya, terlalu larut dalam irama seninya. Namun, satu langkah yang
terlalu tergesa menjadi awal dari mimpi buruknya.
Kakinya terpeleset.
Waktu terasa melambat. Ia merasakan
gravitasi menarik tubuhnya, seolah kota sendiri menolak keberadaannya.
Jaka jatuh.
Ia tak sempat berteriak—hanya
keheningan yang menemani tubuhnya saat melayang di udara. Lampu-lampu kota
berpendar, berkelip seperti mata-mata yang menyaksikan kejatuhannya tanpa belas
kasihan. Udara dingin menusuk kulitnya, menciptakan sensasi asing antara
ketakutan dan kepasrahan.
Dalam sepersekian
detik sebelum tubuhnya menghantam tanah, Jaka menyadari satu hal—hidupnya
mungkin akan berubah selamanya. Cahaya putih menyilaukan. Bau antiseptik
memenuhi udara. Jaka membuka matanya dengan susah payah, tubuhnya terasa remuk
seperti kaca yang jatuh ke lantai dan pecah menjadi serpihan kecil. Ia
mengerang pelan, mencoba menggerakkan jari-jarinya, memastikan dirinya masih
utuh. Di sekelilingnya, suara alat medis berbunyi pelan, seolah mengingatkan
bahwa ia masih hidup. Tapi sesuatu terasa lebih berat dari sekadar luka—rasa
penyesalan mulai merayap masuk, mencengkram pikirannya.
Seorang perawat
mendekat, senyumnya sopan tapi dingin, seperti seseorang yang sudah terlalu
sering melihat orang-orang yang mendekati kehancuran. “Kamu beruntung masih
hidup,” katanya, suaranya terdengar seperti nasib yang mengingatkan. “Tapi
sekarang, kamu punya tanggung jawab atas apa yang terjadi.”
Tanggung jawab. Kata itu menghantam
Jaka lebih keras daripada jatuhnya tadi malam.
Ia harus membersihkan
area kumuh yang dulu menjadi latar bagi mural-muralnya. Ia harus kembali ke
tempat di mana ia pernah menjadi bayangan yang menghiasi tembok-tembok dengan
kemarahan. Dan kali ini, ia tak lagi menjadi seniman yang bebas—ia menjadi
seseorang yang harus melihat dunia dengan cara yang berbeda. Saat ia akhirnya
bisa berdiri, langkahnya terasa lebih berat daripada sebelumnya. Ia bukan lagi
Jaka yang menantang dunia, ia adalah seseorang yang harus menghadapi kenyataan
yang selama ini ia hindari. Ia berjalan melalui gang-gang kumuh, melihat
tembok-tembok yang dulu ia anggap sebagai kanvas, kini ia lihat dengan mata
yang berbeda.
Mereka menatapnya.
Bukan sebagai seniman. Bukan sebagai
pahlawan.
Sebagai perusak.
Seorang ibu tua meliriknya dengan
tajam, matanya menyimpan sejarah luka akibat lingkungan yang selalu dirusak
tanpa peduli. Seorang anak kecil berdiri di sudut, menatapnya dengan campuran
rasa takut dan penasaran.
Jaka ingin berbicara,
ingin menjelaskan bahwa ia tak pernah berniat menyakiti mereka. Bahwa
grafitinya adalah bentuk ekspresi, bukan kehancuran.
Tapi kata-kata tak keluar dari
bibirnya. Untuk pertama kalinya, Jaka melihat dirinya bukan dari matanya
sendiri, tetapi dari mata orang-orang yang selama ini menjadi latar bagi
seninya. Dan dalam kesunyian yang menyesakkan, ia bertanya pada dirinya
sendiri—apakah selama ini ia benar-benar menciptakan sesuatu yang berarti?
Masyaallah inspirator kami..barokah ilmu
BalasHapusSiap lanjutkan...
Hapus