Jumat, 13 Juni 2025

SANG SENIMAN JALANAN YANG MENGUBAH SUDUT KOTA (Bab 2: Malam yang Mengubah Segalanya)

 

 

Malam melingkupi kota dalam pelukannya yang dingin, seolah mengintai langkah-langkah mereka yang berani menantang batas. Di sebuah gedung tua yang menjulang tinggi, Jaka berdiri di tepian, memandang tembok luas yang akan menjadi kanvas bagi ambisinya. Matanya berkilat seperti bara api yang tak akan padam—malam ini, ia akan menciptakan sesuatu yang tak akan terlupakan.

Angin berbisik, membawa suara masa lalu yang pernah mencemoohnya, seakan mencoba menghalangi niatnya. Namun, Jaka tak gentar. Ia meraih kaleng cat semprot, merasakan dinginnya logam di tangannya—senjatanya, alat yang akan memberinya kebebasan. Ia tahu tempat ini sulit diakses. Di ketinggian ini, satu langkah salah bisa berarti akhir segalanya. Tetapi itulah yang ia cari—tantangan yang membuktikan bahwa ia bukan sekadar seniman jalanan, tetapi seorang pencipta yang berani menggoreskan visinya di tempat yang tak pernah terpikirkan.

Tangannya bergerak dengan percaya diri, warna pertama meluncur ke tembok, menjelma menjadi bentuk abstrak yang perlahan mulai mengambil makna. Ia seperti sedang berbicara dengan kota, memberi pesan yang selama ini tersembunyi di balik kehidupan yang tak peduli pada mereka yang berada di bawah. Namun, malam memiliki cara sendiri untuk menguji kesombongan. Saat ia melangkah lebih jauh, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Angin tiba-tiba bertiup lebih kencang, membawa ketegangan yang menggigit kulit. Jaka mengabaikannya, terlalu larut dalam irama seninya. Namun, satu langkah yang terlalu tergesa menjadi awal dari mimpi buruknya.

Kakinya terpeleset.

Waktu terasa melambat. Ia merasakan gravitasi menarik tubuhnya, seolah kota sendiri menolak keberadaannya.

Jaka jatuh.

Ia tak sempat berteriak—hanya keheningan yang menemani tubuhnya saat melayang di udara. Lampu-lampu kota berpendar, berkelip seperti mata-mata yang menyaksikan kejatuhannya tanpa belas kasihan. Udara dingin menusuk kulitnya, menciptakan sensasi asing antara ketakutan dan kepasrahan.

Dalam sepersekian detik sebelum tubuhnya menghantam tanah, Jaka menyadari satu hal—hidupnya mungkin akan berubah selamanya. Cahaya putih menyilaukan. Bau antiseptik memenuhi udara. Jaka membuka matanya dengan susah payah, tubuhnya terasa remuk seperti kaca yang jatuh ke lantai dan pecah menjadi serpihan kecil. Ia mengerang pelan, mencoba menggerakkan jari-jarinya, memastikan dirinya masih utuh. Di sekelilingnya, suara alat medis berbunyi pelan, seolah mengingatkan bahwa ia masih hidup. Tapi sesuatu terasa lebih berat dari sekadar luka—rasa penyesalan mulai merayap masuk, mencengkram pikirannya.

Seorang perawat mendekat, senyumnya sopan tapi dingin, seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat orang-orang yang mendekati kehancuran. “Kamu beruntung masih hidup,” katanya, suaranya terdengar seperti nasib yang mengingatkan. “Tapi sekarang, kamu punya tanggung jawab atas apa yang terjadi.”

Tanggung jawab. Kata itu menghantam Jaka lebih keras daripada jatuhnya tadi malam.

Ia harus membersihkan area kumuh yang dulu menjadi latar bagi mural-muralnya. Ia harus kembali ke tempat di mana ia pernah menjadi bayangan yang menghiasi tembok-tembok dengan kemarahan. Dan kali ini, ia tak lagi menjadi seniman yang bebas—ia menjadi seseorang yang harus melihat dunia dengan cara yang berbeda. Saat ia akhirnya bisa berdiri, langkahnya terasa lebih berat daripada sebelumnya. Ia bukan lagi Jaka yang menantang dunia, ia adalah seseorang yang harus menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari. Ia berjalan melalui gang-gang kumuh, melihat tembok-tembok yang dulu ia anggap sebagai kanvas, kini ia lihat dengan mata yang berbeda.

Mereka menatapnya.

Bukan sebagai seniman. Bukan sebagai pahlawan.

Sebagai perusak.

Seorang ibu tua meliriknya dengan tajam, matanya menyimpan sejarah luka akibat lingkungan yang selalu dirusak tanpa peduli. Seorang anak kecil berdiri di sudut, menatapnya dengan campuran rasa takut dan penasaran.

Jaka ingin berbicara, ingin menjelaskan bahwa ia tak pernah berniat menyakiti mereka. Bahwa grafitinya adalah bentuk ekspresi, bukan kehancuran.

Tapi kata-kata tak keluar dari bibirnya. Untuk pertama kalinya, Jaka melihat dirinya bukan dari matanya sendiri, tetapi dari mata orang-orang yang selama ini menjadi latar bagi seninya. Dan dalam kesunyian yang menyesakkan, ia bertanya pada dirinya sendiri—apakah selama ini ia benar-benar menciptakan sesuatu yang berarti?

Ataukah ia hanya meninggalkan jejak kemarahan yang tak pernah membawa perubahan?

Bersambung.......


E-Book Mendidik Anak Sesuai Dengan Zamannya
Harga : Rp. 40.000,-
Langsung Pesan ke WA : 0822 4499 2692 (Mas Zay)

2 komentar: