Pagi tiba dengan
langkah pelan, merayap di antara lorong-lorong sempit yang selama ini terbiasa
dengan kegelapan. Sinar matahari menelusup malu-malu melalui celah bangunan
tua, menyentuh dinding-dinding yang mengelupas, seperti tangan yang mencoba
menyembuhkan luka.
Jaka berdiri di depan salah satu
dinding paling kusam di gang itu. Ia merasakan permukaannya dengan
jemarinya—kasar, dingin, penuh bekas luka dari waktu yang tak pernah memberi
ampun.
Di matanya, dinding
ini bukan sekadar tembok. Ia adalah saksi bisu penderitaan, tempat di mana
harapan sering kali terhenti di tengah perjalanan. Tapi hari ini, ia akan
mengubahnya. Ia mengambil kaleng cat, menggenggamnya dengan erat seakan di
dalamnya terdapat seluruh kepercayaan diri yang ia butuhkan. Udara pagi terasa
lebih berat, seolah menahan napas untuk menyaksikan sejarah yang akan tercipta.
Jaka menyemprotkan
warna pertama—semburan biru yang melebur ke permukaan beton, seperti gelombang
laut yang mencapai pantai setelah perjalanan panjang. Dengan setiap gerakan
tangannya, garis demi garis terbentuk. Tidak ada kemarahan dalam lukisan ini,
tidak ada pemberontakan yang meledak-ledak seperti dulu. Yang ada hanyalah
cerita baru, kisah tentang mereka yang masih bertahan, mereka yang menolak
menyerah pada dunia yang kerap melupakan mereka.
Tembok itu mulai bernapas.
Saat mural perlahan
terbentuk, warga mulai berdatangan. Anak-anak melongok dengan rasa ingin tahu,
sementara orang dewasa menatap dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Beberapa
dari mereka tersenyum, mengangguk pelan, seolah menemukan sesuatu yang lama
mereka cari dalam warna-warna itu. Tapi tidak semua orang berpikir demikian.
Seorang pria tua
berdiri di sudut, matanya tajam mengamati setiap goresan yang dibuat Jaka. Ia
menyilangkan tangan, raut wajahnya penuh skeptisisme.
"Untuk apa semua ini?"
tanyanya akhirnya, suaranya berat seperti tahun-tahun yang telah berlalu tanpa
perubahan.
Jaka berhenti sejenak, memandang mural
yang baru terbentuk sebagian. Ia bisa merasakan keraguan pria itu, bisa
mendengar gemuruh ketidakpercayaan yang memenuhi udara.
"Agar tempat ini punya cerita yang
berbeda," jawabnya pelan.
Pria itu mendengus, lalu melangkah
pergi tanpa berkata apa-apa.
Jaka tahu, kepercayaan tidak bisa
dibangun dalam sehari. Tetapi ia juga tahu, setiap warna yang ia goreskan
adalah langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar.
Malam datang, tapi
kali ini terasa berbeda. Bukan kegelapan yang menyelimuti tempat itu, melainkan
warna-warna yang mulai berbicara. Mural yang dibuat Jaka kini telah hampir
selesai. Wajah seorang wanita tua tergambar di tengahnya, kerutan di wajahnya
bercerita tentang perjuangan yang tak pernah berhenti. Di sebelahnya, seorang
pria dengan tangan yang kasar karena bertahun-tahun bekerja tanpa istirahat,
matanya penuh kebijaksanaan. Mereka bukan sembarang gambar. Mereka adalah
pahlawan komunitas, orang-orang yang mengorbankan hidupnya agar lingkungan ini
tetap bertahan. Saat Jaka menyelesaikan sentuhan terakhir, seseorang
mendekatinya—seorang ibu yang mengenakan kain lusuh, rambutnya tersisir
seadanya, tapi matanya penuh cahaya.
"Itu ibuku," katanya dengan suara
bergetar. "Terima kasih."
Jaka tersenyum, merasakan kehangatan
yang mengalir di dadanya.
Malam itu, muralnya tak lagi sekadar
lukisan. Ia menjadi bagian dari cerita orang-orang yang selama ini terabaikan.
Beberapa hari
berlalu, dan mural itu mulai menarik lebih banyak perhatian. Anak-anak
mengelilinginya setiap sore, tertawa sambil menunjuk ke berbagai detail yang
Jaka buat dengan penuh hati. Para pedagang yang biasanya hanya sibuk dengan
dagangannya kini sesekali berhenti untuk melihat. Bahkan pria tua yang dulu
meragukannya kini sering duduk di dekat mural, diam, tetapi tidak lagi dengan
ekspresi skeptis.
Jaka merasa sesuatu telah berubah, bukan hanya di tembok itu, tetapi di hati orang-orang. Dulu, tempat ini adalah sudut kota yang dilupakan. Kini, ia menjadi titik di mana cerita-cerita baru mulai tumbuh, di mana harapan yang lama terkubur mulai muncul ke permukaan. Jaka menatap muralnya dengan senyum kecil. Ini hanyalah awal dari perjalanan panjang, tetapi ia tahu satu hal: warna-warna itu bukan hanya miliknya. Mereka milik semua orang yang masih percaya bahwa sesuatu yang indah masih bisa lahir.
Bersambung ........
Harga Ebook Mendidik Anak Sesuai Zamannya: Rp. 40.000,-
WA : 0822 4499 2692 (Mas Zay)